Memenuhi Panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Memenuhi Panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Oleh: KH. Sukanan As-Shidiq, S.Ag (Pengasuh Pondok Tahfidz Al-Qusyu', Sidoarjo)
Disampaikan pada khutbah Jumat di Masjid Baabush Sholihin (02 Mei 2025)
Mulai kemarin dan hari ini, jamaah haji kloter pertama telah diberangkatkan. Oleh karena itu, khutbah Jumat kali ini kami beri judul Memenuhi Panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara para dosen juga ada yang mendapatkan panggilan untuk berhaji. Semoga keberkahan ini menular kepada kita semua.
Untuk mengawali khutbah ini, marilah kita buka dengan doa:
"Allahumma harrimna maa sa’alna bihi... Ya Allah, semoga di majelis ini, di kampus Unitomo, Engkau turunkan ilmu yang bermanfaat, rezeki yang melimpah seperti air, dan kesembuhan dari segala penyakit lahir dan batin."
Semoga anak-anak dan cucu-cucu kita menjadi para penghafal Al-Qur’an, mencintai Al-Qur’an, dan membentuk rumah tangga yang dipenuhi sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 97:
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
Ayat ini sangat populer dan menegaskan bahwa ibadah haji dan umrah murni karena Allah. Niat harus diluruskan, bukan untuk gelar sosial, bukan pula untuk dipanggil "Abah" atau "Umi".
Hari-hari ini sedang viral kisah seorang tukang sampah dari Ambarawa, Semarang, bernama Asti. Ia menabung Rp1.000 per hari sejak tahun 1987. Secara ekonomi ia sederhana, tapi karena tekad dan niat yang kuat, akhirnya ia dipanggil Allah untuk berhaji setelah hampir 40 tahun menabung.
Kita yang secara materi lebih mampu, tapi tidak memiliki niat, mungkin justru tidak terpanggil. Maka mulailah dengan doa yang kuat, niat yang tulus, dan usaha yang nyata, seperti menabung. Kita tidak tahu kapan Allah memanggil. Serahkan segalanya kepada-Nya.
Saya pernah menyampaikan hal ini saat diberi amanah pada musim haji tahun 2018 di hadapan jamaah haji plus. Saya sampaikan surat Asy-Syu’ara ayat 88–89:
"(Yaitu) pada hari ketika tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."
Di hari kiamat, tidak ada istilah haji reguler atau haji plus. Yang diterima di sisi Allah adalah mereka yang datang dengan hati yang bersih, bukan status sosial.
Bahkan, menjadi jamaah haji plus itu lebih berat. Di Indonesia terbiasa dilayani: pintu dibukakan, sandal dibawakan. Di tanah suci, semua harus sabar, antri, dan rendah hati. Jika tidak siap mental, maka kesombongan bisa menghalangi kenikmatan ibadah.
Ketika menghadap Allah—baik dalam haji, shalat, atau zikir—harus dalam kondisi tawajuh, yaitu hadirnya hati kepada Allah. Semua harus diniatkan lillahi ta’ala. Jangan karena gelar, fasilitas, atau pengakuan manusia.
Saya pernah menyaksikan jamaah yang sombong, tidak bisa menemukan hotelnya. Setelah istighfar, barulah Allah bukakan jalan. Ini pelajaran, bahwa tanah suci diliputi malaikat. Datangilah dengan hati yang rendah dan ikhlas.
Saya bukan siapa-siapa, bukan orang kaya. Tapi saya tidak pernah berhenti berdoa. Di kamar saya, saya tulis: "Umroh bersama keluarga tahun 2022." Saya menabung mulai dari Rp10.000, lalu Rp50.000. Saya katakan kepada Allah, “Ya Allah, ini tidak cukup, tapi saya niat.” Allah melihat kesungguhan, bukan jumlah.
Tahun lalu ada kisah tukang gorengan dari Jombang, menabung selama 11 tahun. Nama tidak terkenal, tapi niatnya tulus, dan Allah bukakan jalan. Saya juga dulu hanya guru ngaji, menabung Rp50.000 untuk haji. Tidak tahu dari mana uangnya datang, tapi ternyata Allah kirimkan pertolongan.
Siapkan wadahnya, nanti Allah yang mengisi. Jangan sibuk bertanya dari mana uangnya. Sediakan tabungan haji, niatkan dari sekarang. Allah melihat kesiapan kita.
Semoga yang mendengarkan khutbah ini tergerak hatinya untuk mencintai Baitullah, mencintai Allah, dan bersiap memenuhi panggilan suci. Allah Mahakaya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Mari kita berdoa bersama agar jamaah haji dari Indonesia dan seluruh dunia menjadi haji yang mabrur. Dalam hadis riwayat Jabir, disebutkan ciri-ciri haji mabrur:
-
Senang memberi makan (muth’imut tho’am),
-
Menyebarkan salam (ifsya’us salam),
-
Perkataannya membawa kedamaian dan menyambung silaturrahmi.
Kalau haji kita hanya membawa pulang 5 liter air zam-zam, itu hanya cukup untuk beberapa orang. Tapi kalau lisan kita menjadi seperti air zam-zam—menyejukkan, menyatukan, memberi penghiburan—itulah haji yang mabrur.
Semoga khutbah ini menggerakkan kita semua untuk menyiapkan diri memenuhi panggilan Allah. Jangan pernah berhenti berdoa dan menabung. Siapkan wadahnya, Allah akan isi dengan rizki yang tidak disangka-sangka.
Wallahu a’lam bish-shawab.